BERITA ONLINE LOKAL, BITUNG – Ketua Koperasi Nelayan JPKP Kota Bitung, Julius Hengkengbala menyoroti kebijakan PIT (Penangkapan Ikan Terukur) yang secara resmi mulai berlaku setelah disahkan oleh Pemerintah Indonesia lewat Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2023. Kebijakan ini memberlakukan adanya zona penangkapan ikan dan basis kuota penangkapan.
Hal ini diutarakan Julius dalam diskusi publik Info Kota Bitung yang mengusung tema Kembalikan Kejayaan Perikanan Bitung, Jumat (5/5/2023) di Cafe Ewako 88, kecamatan Madidir.
Dirinya menilai, kebijakan PIT ini masih meminggirkan nelayan lokal sehingga keberadaan mereka akan tersisih dan tidak mendapat porsi yang adil.
“Pemerintah menggaungkan asas Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dengan pondasi utamanya adalah asas pemerataan, asas peran serta masyarakat serta asas keadilan. Namun Kebijakan PIT akan menempatkan para nelayan dalam posisi tidak berdaya,” ucapnya.
Julius pun meminta agar penerapan kebijakan tersebut memperhatikan perlindungan dan keadilan bagi para nelayan.
“Penerbitan PP PIT menggambarkan hilangnya politik pengakuan pemerintah terhadap budaya bahari masyarakat Indonesia yang telah dipraktikkan oleh nelayan untuk mengelola sumber daya perikanan, secara arif dan berkelanjutan dari masa ke masa,” tegasnya.
Sementara itu, lanjut Julius, mengenai aturan bongkar ikan di WPP setempat, tertuang dalam Pasal 18 ayat (1) yang menyatakan bahwa kapal penangkap ikan yang melakukan penangkapan ikan pada Zona Penangkapan Ikan Terukur, wajib mendaratkan ikan hasil tangkapan di Pelabuhan Pangkalan yang ditentukan dalam Zona Penangkapan Ikan Terukur tidak merujuk sesuai titik koordinat.
“Contohnya Desa Kema Minahasa Utara sesuai titik koordinat sama seperti Bitung masuk di zona 3 (tiga), yang notabene pelabuhan pembongkaran untuk Desa Kema harusnya masuk Pangkalan Bongkar untuk zona 3 (tiga) tapi diterapkan masuk di pelabuhan Pangkalan Zona 2 (dua),” tuturnya.
Lebih aneh lagi kata Julius, Kota Bitung yang mempunyai Pelabuhan Perikanan Samudera yang artinya sudah berskala Internasional dan diapit oleh dua zona, berada diantara zona satu dan zona tiga, alhadil tidak masuk Pangkalan Bongkar Zona 2 (dua).
“Ini sangat rancu, saya pun mempertanyakan fasilitas pelabuhan di WPP. Apa ada sarana cold storage-nya, bakul pembeli ikannya, penetapan harga ikannya ataupun soal keamanannya, seperti fasilitas yang disediakan oleh Pelabuhan Perikanan Samudera Bitung. Menteri Perikanan seharusnya betul-betul mengkaji secara ilmiah, baik dari sisi geografis wilayah (titik koordinat) hingga dampak yang dirasakan oleh nelayan (kondisi objektifitas lapangan) sebelum disahkan menjadi Peraturan Pemerintah,” tegas pria berkepala plontos.
Julius pun menambahkan, sejak diterapkannya PP Nomor 11 Tahun 2023 tersebut, nelayan selama ini sudah mengalami berbagai kesulitan lainnya.
“Seperti harga BBM yang mahal, harga ikan yang tidak stabil, kondisi cuaca buruk di lautan. Nelayan juga harus menghadapi aturan yang membuat mereka tidak semangat bekerja. Kasarnya, susah tidurlah,’’ cetusnya.
“Berbagai kesulitan itu selama ini, bisa membuat banyak juragan kapal di Kota Bitung menjadi bangkrut dan membuat nelayan menganggur. Kami berharap agar PP Nomor 11 Tahun 2023 harus dikaji kembali agar sektor perikanan kembali berjaya,” tambah Julius.