MK Tolak Gugatan Sistim Pemilu Tertutup, Pemilu 2024 Tetap Terapkan Sistem Proporsional terbuka

Penulis: INNOR

BERITA ONLINE LOKAL – Permohonan Uji Materi Pasal dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu yang Mengatur mengenai Sistem Pemilihan Umum (Pemilu) Proporsional Terbuka di tolak Mahkamah Konstitusi, (15/5/2023).

Melalui putusan perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 tersebut, maka Pemilu 2024 tetap memakai sistem Proporsional terbuka.

“Berdasarkan UU Dasar Repubblik Indonesia Tahun 1945 seterusnya, amar puutusan mengadili, dalam profesi, menolak permohonan profesi para pemohon, menolak, dalam pokok permohonan, menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ucap hakim Ketua Anwar Usman dalam sidang pembacaan putusan yang digelar di gedung MK, Jakarta, Kamis (15/6/2023).

Mahkamah mempertimbangkan implikasi dan implementasi penyelenggaraan pemilu tidak semata-mata disebabkan oleh pilihan sistem pemilu. Hakim konstitusi Sadli Isra mengatakan dalam setiap sistem pemilu terdapat kekurangan yang dapat diperbaiki dan disempurnakan tanpa mengubah sistemnya.

Sadli Isra menuturkan, menurut mahkamah, perbaikan dan penyempurnaan dalam penyelenggaraan pemilu dapat dilakukan dalam berbagai aspek, mulai dari kepartaian, budaya politik, kesadaran dan perilaku pemilih, hingga hak dan kebebasan berekspresi.

Putusan ini diwarnai pendapat berbeda atau dissenting opinion dari satu hakim, yaitu hakim konstitusi Arief Hidayat.

Adapun permohonan uji materi diajukan pada 14 November 2022. MK menerima permohonan dari lima orang yang keberatan dengan sistem proporsional terbuka. Mereka ingin sistem proporsional tertutup yang diterapkan.

Dengan sistem proporsional tertutup, pemilih tidak bisa memilih calon anggota legislatif langsung. Adapun pemilih hanya bisa memilih partai politik, sehingga partai punya kendali penuh menentukan siapa yang duduk di parlemn.

Dari seluruh paprol di DPR, hanya PDIP yang ingin sistem proporsional tertutup diterapkan. Sementara parpol lainnya meminta agar MK tidak mengubah sistem pemilu.

Mayoritas partai politik menegaskan sistem pemungutan suara yang dipakai dalam pemilu adalah kewenangan pembuat undang-undang yakni presiden dan DPR. Karena itu, mereka merasa MK tidak berwenang untuk mengubahnya lewat putusan uji materi. (**)